Maman Si Pendamping Desa yang Kini Sukses Jadi Peternak Puyuh

Namanya Ali Rohman, atau lebih akrab disapa Maman. Ia tinggal di Desa Wedi, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, bersama istri dan dua anaknya. Sehari-hari, Maman dikenal sebagai seorang Pendamping Desa yang aktif membantu pemerintah desa, lembaga desa, hingga kelompok masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan.
Dari tugasnya sebagai pendamping, Maman banyak belajar tentang bagaimana mengelola potensi, menyusun perencanaan, hingga mencari solusi atas berbagai persoalan di lapangan. Ilmu dan pengalaman itu kini ia terapkan untuk dirinya sendiri, ketika memutuskan untuk membuka usaha ternak burung puyuh petelur.
“Selama ini saya mendampingi desa, lembaga, dan kelompok masyarakat untuk merencanakan dan mengelola kegiatan. Saya jadi berpikir, kenapa tidak saya terapkan untuk diri sendiri? Dari situlah saya memberanikan diri mencoba beternak puyuh,” ungkap Maman.
Sekitar satu bulan lalu, Maman mulai memanfaatkan lahan kosong di belakang rumah untuk membangun kandang sederhana. Dengan modal semangat dan keterampilan yang ia miliki, Maman kini sudah merawat 600 ekor burung puyuh. Hasilnya cukup menggembirakan: setiap hari, puyuh-puyuh tersebut mampu menghasilkan sekitar 2 kg telur. jika sudah masuk masa puncak produksi, ia optimis bisa mencapai 5 kg telur per hari. Dari situ, keuntungan bersih yang bisa didapat diperkirakan sekitar Rp50.000 setiap harinya.
Tidak berhenti sampai di situ, Maman juga sudah memproyeksikan pengembangan usahanya. Keuntungan dari hasil panen telur saat ini sebagian akan ia sisihkan untuk menambah jumlah puyuh hingga 1.000 ekor.
“Kalau hasil dari yang ada sekarang bisa disisihkan, saya targetkan bisa sampai seribu ekor. Setelah itu, insyaAllah saya kembangkan lagi sedikit demi sedikit,” tutur Maman penuh optimis.
Sebagai seorang pendamping desa, Maman terbiasa menghadapi persoalan dan mencari solusi. Itu pula yang ia lakukan di kandangnya. Salah satu kendala beternak puyuh adalah bau kotoran yang menyengat. Maman mengatasinya dengan menambahkan magot (larva lalat BSF) di wadah kotoran burung. Cara ini terbukti efektif mengurangi bau sekaligus memberi peluang tambahan: magot bisa dijual untuk pakan ternak, sementara kasgot dapat diolah menjadi pupuk organik.
“Bau kandang itu masalah besar. Tapi dengan magot, bukan hanya bau berkurang, malah jadi tambahan penghasilan. Jadi masalah bisa jadi peluang,” jelasnya.
Dalam hal pemasaran, Maman pun menerapkan pendekatan yang mirip dengan strategi pendampingan: komunikasi yang aktif, menyebarkan informasi, dan membangun jaringan. Ia rutin memanfaatkan media sosial seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook untuk mempromosikan hasil panen. Tak hanya itu, ia juga menjual langsung ke tetangga dan teman-temannya. Berkat cara ini, permintaan semakin banyak, bahkan kini ia kewalahan melayani pesanan yang datang tidak hanya dari tetangga sekitar, tapi juga dari luar desa hingga luar kecamatan.
Kisah Maman membuktikan bahwa pendampingan yang selama ini ia lakukan kepada masyarakat desa ternyata bisa ia terapkan pada dirinya sendiri. Dari kemampuan menyusun strategi, mengelola sumber daya, hingga mencari inovasi pemecahan masalah, semua ia jalankan dalam usaha kecilnya.
“Saya percaya, apa yang saya sampaikan ke masyarakat bisa berlaku juga untuk saya: mulai dari yang kecil, manfaatkan apa yang ada, dan jangan takut mencoba. Pelan-pelan, usaha ini pasti akan berkembang,” pungkas Maman.
Bagi teman-teman atau siapa saja yang membutuhkan telur puyuh segar atau magot untuk pakan ternak, bisa langsung menghubungi Maman. Harga terjangkau, kualitas terjamin, dan selalu fresh dari kandang. Yuk, dukung usaha lokal sambil menikmati manfaat telur puyuh yang sehat dan bergizi!