Opini

Meningkatkan Self-Esteem Generasi Z: Penguatan Rasa Percaya Diri dengan Pendekatan Konseling REBT

Generasi Z merupakan sekumpulan generasi yang pola pikirnya terbuka dan mampu menerima perbedaan disamping kekurangannya yang sulit untuk memahami diri sendiri, Banyak dari generasi Z saat ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di lingkungan baru, dikarenakan merasa asing, malu, tidak percaya diri, bahkan merasa rendah diri dalam bersosialisasi.

Kesulitan tersebut dikarenakan berpikir irasional tentang dirinya bahkan orang lain, atau seringkali meyakini suatu persepsi yang belum tentu valid, Self esteem menjadi salah satu faktor penunjang bagi pertumbuhan dan potensi individu. Self esteem atau harga diri merupakan suatu komponen emosional dalam kepribadian dan faktor yang paling penting dalam menentukan bagaimana individu itu berpikir, merasa, serta berperilaku.

Ketika individu dapat melihat diri secara positif, maka individu tersebut akan cenderung mengapresiasi dirinya, menganggap bahwa dirinya berharga bagi orang lain meski kelemahan dan kekurangan tidak lepas dari dirinya. Kebutuhan self-esteem yang terpenuhi akan melahirkan sikap optimis dan percaya diri. Sebaliknya, jika self-esteem tidak terpenuhi, maka individu dapat berperilaku negatif seperti halnya kesedihan yang mendalam hingga berdampak pada psikisnya.[1]

Jadi, self-esteem adalah evaluasi positif individu terhadap dirinya sendiri. Ketika individu memiliki harga diri yang tinggi, maka individu akan cenderung menghormati dirinya. Begitupun sebaliknya, jika individu memiliki harga diri yang rendah, maka individu tersebut akan selalu memandang dirinya rendah, dan tidak berguna.

Di era yang serba digital ini, banyak sekali faktor yang bisa membuat generasi Z memiliki harga diri yang rendah. Bermula dari harga diri yang rendah, muncullah penilaian-penilaian negatif terhadap diri sendiri. Merasa  insecure dengan bentuk fisik maupun warna kulit, lebih sering membandingkan diri dengan orang lain atau bahkan selebgram, merasa bahwa diri sendiri tidak berguna merupakan tanda bahwa individu tersebut memiliki self-esteem yang rendah. Jika individu sudah memiliki self-esteem yang rendah, maka individu tersebut juga akan memandang dunia ini hanya dari satu kacamata.

Pada tafsir konseling Islam, self-esteem juga menjadi komponen yang sangat penting dalam membentuk kepribadian yang harus dimiliki setiap individu. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 139.[2] Jelas sekali diterangkan bahwa individu tidak selayaknya memandang rendah diri sendiri sebagai manusia yang buruk dan penuh dengan kekurangan, karena setiap individu pasti memiliki suatu kelebihan tersendiri dengan segala potensi positif yang dimiliki.

Pendekatan REBT adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam proses konseling untuk mengubah suatu pemikiran yang irasional menjadi rasional. Menurut Corey, manusia memiliki dua sisi, pertama sisi positif untuk mengapresiasi diri, mencintai diri sendiri, serta berkembang dan mengaktualisasikan diri dengan baik. Sebaliknya, sisi kedua lebih mengarah pada negatif. Dimana individu akan cenderung untuk merendahkan diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, intoleran, perfeksionis, dan menghindar atau menolak untuk mengaktualisasikan diri sehingga hal tersebut dapat merusak dirinya sendiri.[3]

Bangun Self-Esteem Generasi Z dengan Konseling REBT

Maslow mengemukakan hierarki kebutuhan manusia dari yang paling dasar hingga yang paling tinggi salah satunya yaitu kebutuhan harga diri (self-esteem).[4] Self-esteem datang dari rasa percaya diri, dan rasa percaya diri bisa terbentuk dari faktor lingkungan, pendidikan, sosial, kompetensi, pengalaman, dan yang paling penting adalah faktor emosi.

Faktor emosi tersebut bisa disebabkan dari kemarahan, dimana jika kemarahan yang berlebihan tersebut tidak dapat terlampiaskan bisa membuat individu merasa tidak mampu dan tidak berdaya hingga akhirnya dapat menyebabkan individu kehilangan rasa percaya diri. Selain faktor kemarahan, kesedihan yang mendalam dan berlarut-larut juga bisa menjadi stimulus yang dapat menyebabkan self-esteem semakin rendah. Tak hanya itu, ketakutan, perasaan malu, dan rasa bersalah juga dapat memberikan efek yang buruk pada individu terkait penilaian harga dirinya.

Self-esteem juga kerap dihubungkan dengan rasa percaya diri, dimana keseluruhan dari penilaian individu terhadap dirinya itu akhirnya membentuk gambaran diri seseorang. Hal ini sejalan dengan pendapat Roger dan Maslow. Mereka mengatakan bahwa self esteem merupakan komponen utama dalam kepribadian, dimana self esteem itu nantinya akan mengevaluasi diri secara keseluruhan untuk membentuk gambaran diri (self image).[5] Hanya dengan harga dirilah individu bisa bertumbuh.

Individu kerapkali menilai dirinya rendah dan tidak berdaya untuk menghadapi suatu tantangan tersebut. Pemikiran yang irasional tersebut akhirnya menumbuhkan emosi-emosi negatif yang dapat mengikis eksistensi diri seseorang. Perubahan kemampuan atau potensi individu tidak akan dapat terpenuhi begitu saja, jika tidak dilakukan dengan optimal oleh individu itu sendiri serta bantuan dari orang-orang terdekat. Salah satu hal paling penting yang harus ditanamkan dalam sinergitas perkembangan potensi adalah kemampuan untuk menghargai diri sendiri dan orang lain serta mampu menilai diri sendiri dengan positif.

Penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain tidak serta merta hadir begitu saja. Semua perlu melewati sebuah proses dan kesadaran individu itu sendiri. Ketika kebutuhan akan harga diri tersebut sudah berhasil terpenuhi seperti yang dituturkan oleh Maslow, maka individu tersebut akan dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal.

Selain Maslow, Albert Ellis dengan teori REBT dan salah satu teknik nya yakni ABCD menekankan individu itu bermasalah pada belief  (cara individu memandang sesuatu). REBT menitikberatkan perilaku individu tersebut dapat bermasalah akibat dari pemikiran yang irasional.[6] Ketika individu dapat berpikir secara rasional, maka perilaku yang nampak akan selalu terlihat positif, mampu mengapresiasi diri, bersosialisasi dengan baik, dan akan selalu mengucapkan perkataan yang baik.

Sebaliknya, jika individu tersebut memiliki pola pikir yang irasional, maka perilaku yang nampak pun cenderung terlihat negatif dan tidak produktif. Seperti halnya individu merasa tidak percaya diri. Individu yang tidak percaya diri akan selalu membandingkan hidupnya dengan orang lain, bahkan rasa pesimis tak lepas dari dirinya yang menyebabkan individu tersebut akan lebih memilih untuk menyerah ketika dihadapkan dengan suatu tantangan.

REBT merupakan terapi yang sangat global dalam mengatur masalah-masalah emosi, kognisi, dan tingkah laku.[7] Salah satunya untuk menangani masalah kepercayaan diri. Melalui pendekatan REBT, cara individu berpikir irasional tersebut dapat diubah menjadi rasional. Sehingga, individu dapat lebih percaya diri. Individu yang merasa kurang percaya diri yang diakibatkan oleh pemikiran irasional tersebut dapat ditingkatkan rasa percaya dirinya dengan mengubah kognitifnya, dari irasional menjadi rasional. Jika generasi Z memiliki pemikiran yang rasional, kemampuan percaya dirinya akan meningkat dan dapat membangun self esteem.

Kesimpulan

Generasi Z merupakan sekelompok generasi yang kreatif, aktif, dan terbuka. Generasi Z ini tumbuh dalam dunia digital, dimana segala sesuatunya dapat dengan mudah di akses melalui dunia maya. Ketergantungan generasi z dalam mengakses dunia maya tak hanya memberikan dampak positif saja tetapi juga memberikan dampak negatif. Secara tidak sadar generasi Z tengah membentuk suatu konsep dan gambaran dirinya seperti apa, bagaimana, dan akan menjadi apa.

Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan generasi Z menjadi individu yang cenderung khawatir akan masa depan. Kekhawatiran yang kerapkali melanda generasi Z membuatnya sering membandingkan diri dengan orang lain. Hal semacam inilah yang kemudian membentuk individu kurang percaya diri. Kurangnya rasa percaya diri ini disebabkan akibat self-esteem yang rendah. Individu cenderung menganggap dirinya lemah dan tidak berguna. Rendahnya harga diri ini merupakan suatu pemikiran yang irasional. Maka, cara untuk mengatasi atau meningkatkan rasa percaya diri untuk mengembangkan self-esteem adalah dengan mengubah pikiran irasional tersebut menjadi rasional menggunakan pendekatan REBT. (*)

Penulis: Ummul Arifina Khumaidah (Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam, STAI ATTANWIR Bojonegoro)

==============================================================

 

[1] Nurul Wathoniah, 2021. Penerapan Solution Focused Brief Counseling (SFBC) Untuk Meningkatkan Self-Esteem Remaja Akhir Dari Keluarga Broken Home (Studi di Desa Talagasari, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tengerang-Banten. UIN SMH Banten. http://repository.uinbanten.ac.id/id/eprint/6805, diakses tanggal 13 Juni 2022.

[2] https://tafsiralquran.id/ali-imran-ayat-139-berdamai-dengan-mental-health-sebab-allah-swt-memberikan-kabar-gembira-yang-kurang-percaya-diri/. diakses tanggal 13 Juni 2022.

[3] Ria Safitri, 2020. Analisis Pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Dalam Perspektif Bimbingan Konsleling. https://repository.uinsuska.ac.id. diakses tanggal 16 Juni 2022.

[4] Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, edisi revisi cetakan ke tujuh 2009), hlm. 201-203

[5] Ch. Megawati Tirtawinata. https://binus.ac.id/character-building/2020/04/apakah-harga-diri-itu-self-esteem/ diakses tanggal 13 Juni 2022

[6] Gantina K. Eka. W, dan Karsih, Teori dan teknik konseling, (Jakarta: PT Indek, 2011), hal 201.

[7] S.W. Oktora, Y. Yusmansyah, S. Mayasari. 2017. Peningkatan Percaya Diri Dalam Belajar Menggunakan Konseling Rational Emotive Behavior (REBT). Jurnal Bimbingan Konseling. Vol. 5 No 5. http://jurnal.fkip.unila.ac.id/ . diakses tanggal 16 Juni 2022

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close