Membimbing Generasi Z: Integrasi Nilai Eksistensial Humanistik dan Islam untuk Kehidupan Bermakna

Implementasi dari teori eksistensial humanistik berbasis keislaman dalam unsur bimbingan dan konseling kepada generasi Z menggambarkan tentang penyatuan dan penggabungan antara nilai umum dan nilai keislaman yang mendalam, dalam hal ini konseling tidak hanya melihat aspek psikologis individu tetapi juga melihat dari aspek spiritual dan moral individu berdasarkan ajaran agama Islam.
Teori humanistik dalam perspektif eksistensial merupakan upaya konseling yang mengembalikan kepada ciri khas individu tersebut kedalam dirinya sendiri yang bertujuan agar menumbuhkan kesadaran pada jiwa individu mengenai kapasitas tersembunyi di dalam dirinya, berupa potensi yang dapat digali potensinya dan dikembangkan sehingga individu dapat mengambil tindakan sesuai kemampuan dan kemauannya.
Eksistensial humanistik menggambarkan kebutuhan manusia terdiri dari hierarkis Lima tinggkatan. Pertama, dimulai dari kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan akan keselamatan. Kedua, kebutuhan akan rasa aman. Ketiga, kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki (harga diri). Keempat, kebutuhan akan aktualisasi diri, dan Kelima, kebutuhan akan harga diri.[1] Konsep utama pendekatan eksistensial humanistik yang dikemukakan oleh Corey yaitu;
- Kesadaran diri, merupakan kemampuan individu untuk menyadari dirinya sendiri. Kesadaran akan kebebasan dirinya untuk menentukan dan memutuskan sesuatu disertai dengan tanggung jawab.
- Kebebasan, tanggung jawab serta kecemasan. Kebebasan yang disertai tanggung jawab akan menyebabkan kecemasan dalam bertindak, disebabkan karena kesadaran akan keterbatasan dirinya terhadap sesuatu.
- Penciptaan makna. Upaya untuk menemukan tujuan hidup, menciptakan nilai nilai yang dapat mempengaruhi makna kehidupan (Yulianti: 2019).[2]
Perspektif eksistensial humanistic berbasis Islam, suatu pandangan terhadap kebutuhan manusia dilihat dari nilai yang ditekankan dalam Al-Qur’an terutama mengenai harga diri, kemuliaan dan kehormatan setiap individu.[3] Dengan jelas Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah telah memuliakan keturunan Adam, sehingga manusia dianggap sebagai makhluk yang paling mulia diantara ciptaan-Nya QS. Al-Isyra’ (17):70.
Yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menghormati anak anak Adam dan Kami telah mengangkat mereka di darat dan di laut, dan kami telah memberikan mereka rezeki dari benda benda yang baik baik, dan kami lebih mengutamakan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas sebagian mahkluk yang Kami ciptakan”.
Dari ayat tersebut menggambarkan bagaimana Allah SWt telah memuliakan anak anak Adam (manusia) dengan berbagai keistimewaan. Allah menciptakan manusia dengan pengetahuan, akal, dan bentuk paling baik. Terlihat jelas bahwa Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk memuliakan satu sama lain, menjaga harga diri, dan menghindari sikap yang merendahkan atau merugikan satu sama lain.
Seperti yang terkandung dalam Qur’an surah An-Nisa ayat 86; bahwa manusia harus saling menghormati dan tidak saling menghina atau merendahkan satu sama lain. Ini sejalan dengan pendekatan eksistensial humanistic yang menghargai nilai kemanusiaan, memberi kebebasan dan tanggung jawab, serta membangun kesadaran diri yang positif untuk mencapai potensi tertinggi dalam hidup.[4]
Berbeda dengan hewan, manusia diciptakan dengan potensi yang sangat luas dan unik sesuai dengan keorisinilan tiap tiap individu. Al-Qur’an mengajarkan mengenai kemampuan manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, yang memungkinkan untuk mencapai hal hal yang tidak bisa diraih oleh makhluk lain. Qs. An-Najm (53): 9[5]
Yang artinya: “Jaraknya (sekitar dua busur panah atau lebih dekat (lagi))”.
Ayat diatas menceritakan bahwa Allah memberikan manusia kedudukan yang istimewa diantara ciptaanya. Islam juga mengakui bahwa kebutuhan manusia juga merupakan kebutuhan akan pengetahuan, keindahan dan spiritualitas yang sama dengan lima kebutuhan dasar yang tedapat pada pendekatan teori eksistensial humanistic.[6] Dalam pandangan Islam, ketidakmauan untuk memperoleh ilmu pengetahuan maka dia berada dalam posisi yang lebih rendah bahkan dibandingkan dengan hewan, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-A’raf (7): 179.
Yang artinya: “Dab sesungguh, Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan Jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendenganrkan (ayat ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang orang yang lengah”.
Ayat ini menunjukan bahwa kesiapan untuk belajar dan memperoleh ilmu merupakan kunci utama manusia untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dalam pandangan Islam. Al-Qur’an juga mengajarkan pentingnya etika dan estetika yaitu kebaikan dan keindahan, yang bukan hanya mencari kebenaran tetapi juga perwujudan dalam tindakan dan perilaku, bak dalam berbicara, berpakaian ataupun dalam interaksi sosial.
Islam memperkuat nilai nilai moral dan etika yang menjadi bagian penting dalam ajaran Islam untuk membimbing dan membantu manusia dalam mencapai kesempurnaan diri sesuai dengan kehendak Allah.
Kebutuhan spiritual merupakan aspek penting dalam keberlangsungan kehidupan manusia, namun tidak secara khusus disebutkan Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya. Di dalam Islam, kebutuhan spiritual meliputi hubungan manusia dengan hal yang bersifat non-ragawi dan mendalam, termasuk hubungan dengan tuhan. Seperti yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an Qs. Yunus. (10): 12[7]
Yang artinya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kmai dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapu setelah Kami hilangkan bahaya darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan”.
Ayat diatas menggambarkan ketika manusia membutuhkan bantuan spiritual dalam menghadapi tantangan hidup yang berat. Al-Qur’an juga menekankan agama ketuhanan merupakan kebutuhaan yang sangat besar yang muncul saat manusia melalui masa masa ketegangan dalam hidupnya. Islam mengajarkan manusia agar selalu menjaga kesehatan mental dan spiritualnya dengan menjahui penyakit hati (qalbun marid) dan menghidupkan hati nurani (qalbun mayyit).[8]
Dalam ajaran Islam kebutuhan spiritual tidak hanya sekedar ibadah saja, tetapi juga melibatkan aspek lain seperti memperdalam iman, mempererat hubungan dengan Allah, mencari kedamaian batin dan menemukan gambaran hidup yang lebih baik. Beberapa aspek kebutuhan manusia di dalam Islam antaranya aspek fisik, mental, emosional, dan spiritual yang secara keseluruhan berkontribusi dalam mengoptimalkan kualitas hidup.
Didalam Al-Qur’an manusia tidak hanya membutuhkan makanan, minuman dan tempat tinggal yang baik secara fisik, akan tetapi kebutuhan ini juga terpenuhi secara pantas dan nyaman. Tidak lupa dengan cara memperoleh semua itu dengan jalan yang baik dan benar sesuai dengan ajaran agama Islam.
Selain pentinggnya kebutuhan spiritual, hati nurani dan keadaan mental yang sehat dianggap sebagai bagian yang penting dalam menjalani kehidupan yang bermakna, serta menjahui berbagai penyakit hati yang dapat mengganggu keberlangsungan hubungan sosial dengan spiritualnya. Karena hati yang sakit atau mati dapat mengasilkan perilaku penyakit sosial seperti antisosial, korupsi, judi, obat obatan terlarang, seks bebas atau ketidaksetabilan emosional yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Penulis: Della Nur Arienza (Mahasiswa BKI Institut At Tanwir Bojonegoro)
=============================================================
[1] Ummi Kalsum. Kajian Integrasi Interkoneksi Eksistensial Humanistic Berlandaskan Al-Qur’an Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam Pada Masyarakat. Jurnal Bimbingan Konseling Islam. (Juni 2024). Vol 6. No.1. Hal: 133.
[2] Syatria Adymas Pranajaya, Ananda Firdaus, Nurdin Nurdin. Eksistensial Humanistic Dalam Perspektif Bimbingan Dan Konseling Islam. Al-Ittizaan: Jurnal Bimbingan Konseling Islam. (2020). Vol.3. No.1.Hal: 31.
[3] Ummi Kalsum. Kajian Integrasi Interkoneksi Eksistensial Humanistic Berlandaskan Al-Qur’an Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam Pada Masyarakat. Jurnal Bimbingan Konseling Islam. (Juni 2024). Vol 6. No.1. Hal: 134.
[4] Ummi Kalsum. Kajian Integrasi Interkoneksi Eksistensial Humanistic Berlandaskan Al-Qur’an Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam Pada Masyarakat. Jurnal Bimbingan Konseling Islam. (Juni 2024). Vol 6. No.1. Hal: 134.
[7] Ummi Kalsum. Kajian Integrasi Interkoneksi Eksistensial Humanistic Berlandaskan Al-Qur’an Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam Pada Masyarakat. Jurnal Bimbingan Konseling Islam. (Juni 2024). Vol 6. No.1. Hal: 136.