Opini

Ketika Dunia Maya Mengikis Kedalaman Hubungan Manusia

Penulis: M. Hestu Widiyastana

Kehidupan kita berada dalam di era di mana segala sesuatu bisa diakses dengan satu ketukan jari, generasi muda tumbuh dengan kemampuan multitasking yang luar biasa, mengirim pesan di WhatsApp sambil menonton Netflix, membalas komentar Instagram sembari mengerjakan tugas kuliah, atau bahkan menjalin hubungan asmara melalui DM yang dipenuhi emot love . Namun, di balik kemudahan ini, ada pertanyaan yang menggelitik, Apakah keterhubungan digital justru menciptakan kesenjangan emosional antarmanusia?

Teknologi telah mengubah cara kita berkomunikasi. Platform seperti TikTok, Instagram, atau Twitter (sekarang X) menawarkan ruang untuk ekspresi diri yang instan dan masif. Namun, ironisnya, semakin banyak orang muda yang merasa kesepian. Survei American Psychological Association (2022) menyebutkan bahwa 48% generasi Z mengakui merasa terisolasi meski aktif di media sosial. Kita mungkin punya ribuan followers, tetapi berapa banyak yang benar-benar mengenal kita dalam kedalaman emosi dan pergulatan hidup?

Masalahnya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada cara kita menggunakannya. Interaksi di media sosial sering kali terjebak pada pencitraan. Seseorang pamer kebahagiaan melalui highlight reel kehidupan, sambil menyembunyikan kegelisahan di balik filter yang sempurna. Akibatnya, banyak anak muda terjebak dalam perbandingan sosial yang tidak sehat. Mereka mengukur nilai diri dari jumlah like atau seberapa viral kontennya, alih-alih dari kualitas hubungan nyata.

Di sisi lain, keterampilan komunikasi tatap muka mulai tergerus. Banyak remaja yang lebih nyaman mengungkapkan perasaan melalui pesan teks daripada berbicara langsung. Padahal, bahasa tubuh, intonasi suara, dan kehadiran fisik adalah komponen krusial dalam membangun empati dan keintiman. Hubungan yang terjalin secara daring sering kali bersifat transaksional dan dangkal—seperti air yang mengalir di permukaan, tanpa pernah menyentuh akar.

Namun, tidak adil jika kita menyalahkan teknologi sepenuhnya. Platform digital juga membuka peluang untuk solidaritas, seperti gerakan kesehatan mental #SadarKesehatanJiwa di Twitter (X) atau komunitas dukungan bagi penyintas depresi di Reddit. Persoalannya adalah bagaimana kita menyeimbangkan dunia maya dan nyata. Apakah kita menggunakan teknologi sebagai alat untuk memperkaya hubungan, atau justru membiarkannya menggantikan interaksi manusiawi?

Generasi muda perlu diajak berpikir kritis, Apakah obrolan di grup chat sudah cukup untuk menggantikan obrolan di warung kopi? Apakah stiker hati di Instagram sepadan dengan pelukan hangat saat seseorang sedang bersedih? Tentunya tidak, terlebih bagi remaja tua yang masih jomblo seperti teman saya yang usianya sudah kepala tiga tapi belum menemukan kekasihnya, hehehe, maaf kalimat terakhir hanya bercanda.

Digital Validation: Ketergantungan pada “Likes” dan Krisis Identitas

Generasi muda semakin menggantungkan harga diri pada validasi digital, seperti jumlah likes, followers, atau komentar pujian di media sosial. Fenomena ini menciptakan siklus kecanduan akan pengakuan instan, di mana kebahagiaan bersifat fluktuatif dan bergantung pada respons orang lain. Akibatnya, muncul krisis identitas: banyak remaja kesulitan membedakan antara siapa diri mereka sebenarnya dan siapa yang ingin mereka tampilkan.

Contohnya, tren “flexing culture” di TikTok atau Instagram, di mana seseorang memamerkan gaya hidup mewah (meski tidak sesuai realita) demi mendapatkan pengakuan. Padahal, penelitian dari Journal of Social and Clinical Psychology (2019) menunjukkan bahwa partisipan yang mengurangi penggunaan media sosial melaporkan peningkatan signifikan dalam kepuasan hidup. Ini membuktikan bahwa validasi digital hanya memberikan kepuasan semu, sementara kepercayaan diri yang sejati harus dibangun melalui refleksi diri dan hubungan yang autentik.

Teknologi adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi jembatan, tetapi juga tembok—tergantung kesadaran kita dalam mengelola batasan.

Pada akhirnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran, bukan sekadar update status. Mungkin sudah saatnya kita menekan tombol pause, menyimpan ponsel sejenak, dan menyapa orang di sebelah kita dengan tulus. Karena di dunia yang semakin terhubung secara digital, kehangatan manusia tetap tak tergantikan.(*)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close